Minggu, 17 Maret 2013

HADIAH UNTUK MAYYIT (BAH 2. IBADAH BADANIYYAH)

HADIAH UNTUK MAYYIT (BAH 2. IBADAH BADANIYYAH)

BISAKAH MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL (MAYYIT) ?

(bagian dua: Ibadah-Ibadah Badaniyyah)

ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Al-Andalasy
-semoga Alloh mengampuni dosa dan kesalahannya-
21 Robii’uts Tsany 1434

بسم الله الرحمن الرحيم

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد


HUKUM MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI MAYYIT DENGAN AMALAN BADANIYYAH (YANG TERKAIT DENGAN PERBUATAN LISAN DAN ANGGOTA BADAN)

Sebagaimana disebutkan Imam An-Nawawi di awal-awal pembahasan, terdapat banyak perselisihan dalam masalah ini. Insyalloh akan dirinci berdasarkan dalil-dalil yang datang pada ibadah-ibadah badaniyyah tersebut. Kita mulai dengan amalan-amalan yang ada pendalilannya secara khusus.

AMALAN AMALAN YANG ADA PENDALILANNYA SECARA KHUSUS

1. DO’A DAN ISTIGHFAR (PERMINTAAN AMPUN) UNTUK MAYYIT

Masalah ini banyak sekali dalil-dalilnya –diantaranya telah disinggung sebelumnya- yang sekaligus menunjukkan bahwa bermanfaatnya do’a bagi mayyit tidak terbatas dari anaknya yang sholih saja.

[Masalah penting]
Diantara dalil yang menunjukkan disyari’atkannya mendo’akan kaum muslimin yang telah meninggal adalah hadits yang diriwayatkan dari ‘Utsman bin ‘Affan Rodhiyallohu ‘Anhu, dimana beliau mengatakan: “Dahulu Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam jika selesai dari penguburan mayyit, beliau berdiri lalu mengatakan:

اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ، وَسَلُوا لَهُ بِالتَّثْبِيتِ، فَإِنَّهُ الْآنَ يُسْأَلُ

“Mintalah ampunan bagi saudara kalian dan mintakanlah baginya pengokohan, karena dia sekarang sedang ditanya”. (HR Abu Daud, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Adapun makna “pengokohan” adalah sebagaimana yang disebutkan Al-Baroo’ bin ‘Azib Rodhiyallohu ‘Anhu dari Rosululloh Shollalohu ‘Alaihi wa Sallam tentang firman Alloh Ta’ala:

يُثَبِّتُ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا بِالقَوْلِ الثَّابِتِ فِي الحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الآخِرَةِ

“Allah mengokohkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang kokoh tersebut dalam kehidupan di dunia dan di akhirat”. (QS Ibrohim 27)
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

فِي القَبْرِ إِذَا قِيلَ لَهُ: مَنْ رَبُّكَ، وَمَا دِينُكَ، وَمَنْ نَبِيُّكَ

“Di dalam kuburan, ketika ditanyakan kepadanya: “Siapa Robbmu?, Apa agamamu? Siapa nabimu?” (Hadits Shohih. HR Tirmidzi, asalnya di Shohihain. Dizhohihkan Syaikh Al-Albany)
Masalah yang sengaja ingin disinggung dengan penyebutan hadits tersebut adalah: “Hukum mentalqin mayyit di kuburannya selepas penguburan”.
Bentuknya: “Ditalqinkan (didiktekan) kepada mayyit: “Wahai fulan bin fulanah, sebutkan apa yang dahulu kamu yakini di dunia: “Syahadat Laa ilaha illalloh wa Anna Muhammadan ‘Abduhu wa Rosuluhu”, dan bahwasanya engkau ridho dengan Alloh sebagai Robb, dan Islam sebagai agama … dst”.
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Amalah ini mustahab (sunat). Ini adalah pendapat sebagian ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah. [Lihat: Al-Madkhol 2/264, At-Taaj wal Ikliil 2/237, Al-Majmu’ 3/273, Mughnil Muhtaaj 2/60, Al-Mughni 3/437, Al-Furu’ 2/265, Majmu’ Fatawa 24/296]
Dalilnya:
1. Hadits yang diriwayatkan dari Abu ‘Umamah Al-Baahily Rodhiyallohu ‘Anhu, bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ أَحَدٌ مِنْ إِخْوَانِكُمْ، فَسَوَّيْتُمِ التُّرَابَ عَلَى قَبْرِهِ، فَلْيَقُمْ أَحَدُكُمْ عَلَى رَأْسِ قَبْرِهِ، ثُمَّ لِيَقُلْ: يَا فُلَانَ بْنَ فُلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْمَعُهُ وَلَا يُجِيبُ، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلَانَ بْنَ فُلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَسْتَوِي قَاعِدًا، ثُمَّ يَقُولُ: يَا فُلَانَ بْنَ فُلَانَةَ، فَإِنَّهُ يَقُولُ: أَرْشِدْنَا رَحِمَكَ اللهُ، وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ. فَلْيَقُلْ: اذْكُرْ مَا خَرَجْتَ عَلَيْهِ مِنَ الدُّنْيَا شَهَادَةَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّكَ رَضِيتَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ نَبِيًّا، وَبِالْقُرْآنِ إِمَامًا، فَإِنَّ مُنْكَرًا وَنَكِيرًا يَأْخُذُ وَاحِدٌ مِنْهُمْا بِيَدِ صَاحِبِهِ وَيَقُولُ: انْطَلِقْ بِنَا مَا نَقْعُدُ عِنْدَ مَنْ قَدْ لُقِّنَ حُجَّتَهُ، فَيَكُونُ اللهُ حَجِيجَهُ دُونَهُمَا

“Apabila salah seorang dari saudara kalian meninggal dan kalian telah meratakan kuburannya, maka berdirilah salah seorang diantara kalian di bagian kepala kuburnya dan mengatakan: “Wahai Fulan bin Fulanah (nama ibunya)”, sesungguhnya dia (mayyit) mendengar namun tidak menjawab.
Lalu katakanlah: “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka dia (mayyit) akan duduk. Lalu katakanlah: “Wahai Fulan bin Fulanah”, maka dia (mayyit) akan mengatakan: “Arahkanlah kami semoga Alloh merahmatimu”, akan tetapi kalian tidak menyadari (perkataannya).
Lalu hendaklah dia (orang yang mentalqin) mengatakan: “Bacalah apa yang engkau berada diatasnya sebelum keluar dari dunia: Syahadah Laa ilaha illalloh wa Anna Muhammadan ‘Abduhu wa Rosuluhu, engkau ridho dengan Alloh sebagai Robb, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan Al-Qur’an sebagai imam”.
Maka sesungguhnya Munkar dan Nakir, salah seorang diantara mereka akan menarik tangan temannya dan mengatakan: “Ayo pergi, kita tidak duduk pada seseorang yang telah ditalqinkan hujjahnya”. Allohlah yang mendatangkan hujjah atas mereka berdua”.
Salah seorang lelaki mengatakan: “Wahai Rosululloh, seandainya orang yang mentalqin tidak mengetahui nama ibunya (mayyit)?”. Rosululloh berkata: “Nasabkan dia kepada Hawwa, yaa Fulan bin Hawwa”. (HR Ath-Thobrony di Mu’jamul Kabiir)
2. Amalan penduduk Syam sejak dulu. [Lihat Al-Majmu’ karya Imam An-Nawawy 5/274]
Pendapat kedua: Amalan ini boleh-boleh saja, tidak sampai mustahab. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Ahmad, dan inilah yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. [Lihat: Majmu’ Fatawa 24/296-299, Ikhtiyaarul Fiqhiyyah 89]
Dalilnya:
1. Amalan ini dinukilkan dari sebagian shohabat seperti Abu Umamah Al-Bahily dan Watsilah bin Al-Asqo’, dan selain mereka. [Lihat: Majmu’ul Fatawa 24/297-298]
2. Apabila mayyit mendengar suara sandal maka dia juga mendengar talqin.
Pendapat ketiga: Amalan ini terlarang alias bid’ah. Pendapat ini disandarkan pada sebagian ulama Malikiyyah. Alasannya: bahwa tidak ada dalil yang sah tentang masalah ini, dan perkara ibadah tauqifiyyah (harus dibangun di atas dalil). [Lihat: Majmu’ Fatawa 24/296-298]
Inilah pendapat yang benar, pendapat ini dikuatkan oleh para ulama semisal: Imam Ash-Shon’any, Muhammad bin Ibrohim Alu Syaikh (wafat 1389), Ibnu Baz, Ibnul ‘Utsaimin, Abdurrozaaq ‘Afify, ‘Abdulloh bin Qu’ud, Abdulloh bin Ghudayyan, Shalih Al Fauzan, Bakr Abu Zaid, Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Yahya Al-Hajury [Lihat: Subulus Salaam 1/502, Fatawa wa Rosa-il Samahatisy Syaikh Muhammad bin Ibrohim 3/196, Majmu’ Fatawa Ibni Baaz 13/315, Majmu’ Fatawa wa Rosa-ilil ‘Utsaimin 17/75, Fatwa Lajnah Ad-Da-imah 1/2/460 dan 2/7/325, Kanzuts Tsamin 3/194-195]
Jawaban bagi dalil-dalil kelompok pertama dan kedua:
1. Hadits yang disandarkan kepada Abu ‘Umamah Al-Bahily adalah hadits dho’if (lemah). Perkataan Ibnu Hajar Rahimahulloh (di Talkhisul Habiir 2/135) bahwa hadits ini bisa dipakai berhujjah adalah pendapat yang lemah karena pada sanadnya terdapat Sa’id bin ‘Abdillah Al-Audy, tidak dikenal. [Lihat: Irwa-ul Gholil karya Syaikh Al-Albany 3/203-204]
Bahkan sebelumnya, Al-Haitsamy (gurunya Ibnu Hajar) Rahimahumulloh mengatakan: “Pada sanadnya terdapat sekelompok orang yang tak kukenal”. [Majmu’uz Zawa-id 3/48]
Perkataan Al-Haitsaimy: “sekelompok orang”, terdapat pada sanad-sanad yang lain semisal sanad yang diriwayatkan ibnu Asakir. Di sanad tersebut, selain Al-Audy masih ada ‘Abdulloh bin Muhammad Al-Qurosyi yang tak dikenal.
Ibnul Qoyyim Rahimahulloh mengatakan: “Hadits ini disepakati kelemahannya tidak bisa ditegakkan untuk hujjah”. [Zaadul Ma’ad 1/325]
Demikian juga alasan Ibnu Hajar –juga An-Nawawy (Al-Majmu’ 5/274-275)- Rahimahumulloh bahwa “hadits ini memiliki penguat sehingga bisa dipakai sebagai hujjah”, merupakan pendapat yang lemah karena penguat-penguat yang dibawakan adalah hadits-hadits seputar do’a untuk mayyit, antara penguat dan yang dikuatkan masalahnya lain. [Lihat: Irwa-ul Gholil 3/204]
2. Amalan penduduk Syam bukanlah dalil. Justru menunjukkan bahwa perkara tersebut diada-adakan tidak dikenal di zaman salafush sholih, sebagaimana Ibnu Qudamah mengatakan: “Adapun talqin setelah penguburan, maka aku tidak mendapatkan riwayat apapun dari Ahmad (bin Hanbal), demikian juga aku tidak mengetahui perkataan para Imam kecuali yang diriwayat Al-Atsram, dia berkata: “Aku katakan kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal): “Yang dilakukan oleh orang-orang apabila mayyit telah dikubur maka salah seorang lelaki berdiri dan mengatakan: “Wahai Fulan bin Fulanah sebutlah apa yang engkau di atasnya ketika engkau berpisah dengan dunia: Syahadah laa ilaha illlalloh”.
(Imam Ahmad) berkata: “Aku tak melihat seorangpun melakukannya kecuali penduduk Syam ketika Abul Mughiroh meninggal, datang seseorang melakukan hal itu (talqin)”. [Al-Mughny 3/437]
3. Amalan yang dinukilkan dari sebagian shohabat tidak memiliki sanad yang diketahui. Bahkan pernyataan Imam Ahmad di atas menegaskan bahwa perkara ini hanyalah amalannya orang-orang Syam.
4. Pengqiyasan talqin dengan derap sandal bukanlah pengqiyasan yang tepat karena yang pertama adalah ibadah sementara ibadah bersifat tauqifiyyah (harus ada dalil), kemudian derap sandal tidaklah mendatangkan bahaya ataupun manfaat bagi mayyit. [Lihat Majmu’ Fatawa Ibni Baaz 13/207]
Selain itu, hukum asalnya mayyit tidak bisa mendengarkan apa-apa, sebagaimana Alloh berfirman:

إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى

“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang yang mati mendengar”. (QS An-Naml 80)
Maka tidak bisa keluar dari hukum asal ini kecuali ada dalil yang mengecualikannya.

2. HAJI DAN ‘UMROH (YANG WAJIB) ATAS NAMA MAYYIT

Haji dan ‘umroh merupakan amalan ibadah yang diperbolehkan dilakukan dengan orang pengganti semasa hidup. Hal tersebut apabila orang yang hendak melakukan haji tidak memiliki kemampuan untuk melakukan manasik haji.
Diantara dalilnya, hadits Abu Rozin Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya beliau mendatangi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan: “Sesungguhnya ayahku seorang yang tua renta, tidak mampu haji, tidak umroh dan tidak juga mampu duduk di atas tunggangan”. Maka Rosululloh Shollallohu ‘Alihi wa Sallam bersabda:

حُجَّ عَنْ أَبِيكَ وَاعْتَمِر

“Hajilah dan umrohlah atas nama ayahmu”. (HR Ahmad, shohih)
Kisah yang semisal di Shohih Al-Bukhory dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu, namun yang ditanyakan penanya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alihi wa Sallam adalah masalah penggantian dalam haji saja.
Yang menggantikan tidak mesti anak, sebagaimana dijelaskan di pembahasan sebelumnya dan tidak ada dalil yang membatasi hal tersebut.
Hukum amalan atas nama mayyit dengan haji maupun ‘umroh (bagi yang berpendapat bahwa ‘umroh hukumnya wajib)
Yang dimaksud haji ataupun ‘umroh wajib adalah: Haji atau ‘umroh yang berada dalam tanggung jawab seseorang, seperti orang yang mampu untuk melakukan haji atau ‘umroh Islam (wajib) semasa hidupnya namun dia menunda sampai akhirnya dia meninggal sebelum menunaikannya. Adapun jika semasa hidup dia tidak ada kemampuan untuk melakukan haji ataupun ‘umroh baik dari sisi harta ataupun fisik, maka dia tidak terkena kewajiban haji atau ‘umroh, dan kalau dia meninggal maka tidak ada beban tanggung jawab baginya.
Adapun jika seseorang bernadzar untuk melakukan haji atau ‘umroh, maka kewajiban untuk membayar nadzar tersebut tetap berada dalam tanggungannya setelah dia meninggal apabila dia tidak menunaikannya ketika hidup, terlepas apakah semasa hidup dia mampu melakukannya atau tidak.
Dalam masalah ini (haji dan umroh wajib) terdapat dalil yang terang sebagaimana di sebutkan Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhuma, bahwasanya seorang wanita dari Juhainah datang menemui Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan mengatakan: “Sesungguhnya ibuku bernadzar bahwa dia akan berhaji, namun dia tidak menunaikan haji sampai dia meninggal. Apakah aku berhaji atas namanya?”.
Beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menjawab:

نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا، أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قَاضِيَةً؟ اقْضُوا اللَهَ فَاللَهُ أَحَقُّ بِالوَفَاء

“Ya hajilah atas namanya. Bagaimana pendapatmu jika ibumu memiliki hutang, bukankah kamu membayarkannya? Tunaikanlah (hutang) kalian kepada Alloh karena Alloh lebih berhak untuk dipenuhi”. (HR Bukhory)
Juga riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhuma bahwasanya seorang wanita bertanya kepada Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tentang ayahnya yang meninggal dan belum haji, beliau berkata:

حُجِّي عَنْ أَبِيكِ

“Hajilah atas nama ayahmu”. (HR An-Nasaa-iy, dishohihkan Syaikh Al-Albany dan Muhammad Hizam)

3. PUASA WAJIB ATAS NAMA MAYYIT

Dalil untuk masalah ini, sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:

من مات وعليه صيام صام عنه وليه

“Barangsiapa yang meninggal dan memiliki tanggung jawab puasa maka hendaklah ahli warisnya berpuasa atas namanya”. (HR Bukhory-Muslin dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha)

AMALAN AMALAN YANG TIDAK ADA PENDALILANNYA SECARA KHUSUS

1. AMALAN HAJI ATAU ‘UMROH YANG TATHOWWU’ (SUNAT) ATAS NAMA MAYYIT

Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat sbb:
Apabila mayyit meninggalkan wasiat untuk dihajikan atau di’umrohkan, maka jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bolehnya. Pendapat ini diselisihi sekalangan ulama Syafi’iyyah, mereka berpendapat tidak bolehnya haji ataupun ‘umroh tathowwu’ atas nama mayyit baik ada wasiat atau tidak. [Lihat: Al-Hawy Al-Kabir karya Al-Mawardy 4/264, Al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab karya An-Nawawy 7/112, Al-Mughny karya Ibnu Qudamah 3/227, Al-Kitaab Ma’a Al-Lubaab 4/177, Minhul Jalil 2/216, Al-Mudawwanah 4/367]
Kemudian para ulama yang berpendapat bolehnya bentuk di atas (yakni jika mayyit mewasiatkan), mereka berselisih pendapat jika mayyit tidak mewasiatkan. Akan tetapi perselisihan tersebut pada makruh atau bolehnya, adapun akan sahnya amalan tersebut mereka sepakat atas hal tersebut.
Diantara dalil yang dipakai akan pembolehan haji dan ‘umroh tathowwu’ atas nama mayyit adalah keumuman hadits yang diriwayatkan ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-’Ash Rodhiyallohu ‘Anhuma, dimana Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata:

إنه لو كان مسلماً فأعتقتم عنه أو تصدقتم عنه أو حججتم عنه بلغه ذلك

“Sungguh, seandainya dia muslim, kemudian engkau memerdekakan budak, bersedekah, atau haji atas namanya maka (pahala) hal tersebut akan sampai kepadanya”. (HR Abu Daud dihasankan Syaikh Al-Albany)
Di hadits ini Rosululloh tidak merinci apakah haji atas nama mayyit tersebut adalah haji wajib atau tathowwu’.
Juga dalil yang mereka bawakan bahwa ‘illah bolehnya penggantian dalam haji dan ‘umroh adalah ketidakmampuan dari sisi fisik, maka hal ini juga berlaku bagi yang telah meninggal.
Dari dalil yang dibawakan, tidak diragukan akan kuatnya pendapat ini. Pendapat inilah yang dikuatkan Syaikh Al-‘Utsaimin, Ibrohim bin Muhammad Alu Syaikh, ‘Abdurozzaq ‘Afify, ‘Abdulloh bin Ghudayyan, ‘Abdulloh bin Mani’, Ibnu Baaz, Bakr bin ‘Abdillah Abu Zaid, ‘Abdul ‘Aziz Alu Syaikh, Sholih Al-Fauzan dan Syaikh kami Muhammad bin ‘Ali bin Hizam. Demikian juga Syaikh Al-Albany, akan tetapi sebagaimana dimaklumi beliau berpendapat yang boleh menghajikan atau yang meng’umrohkan hanyalah anak mayyit, kecuali jika mayyit mewasiatkan orang lain. [Liqoo-u Babil Maftuh kaset 89, Fatwa Al-Lajnah Ad-Daa-imah 1/11/83, Fatwa Al-Lajnah Ad-Daa-imah 2/10/72, Majmu’ Fatawa Ibni Baaz 16/372, Fatawa Nuur ‘Alad Darb 14/317, Fatawa Jeddah kaset 24 side A]

2. AMALAN-AMALAN BADANIYYAH LAINNYA YANG TIDAK ADA DALILNYA (PEMBACAAN AL-QUR’AN UNTUK MAYYIT, SHOLAT, PUASA SUNAT DLL)

Para ulama berselisih pendapat dalam masalah ini, jumhur ulama menyatakan bahwa jika amalannya dilakukan atas nama mayyit maka pahalanya sampai. Mereka menyamakan amalan-amalan ini dengan amalan-amalan ibadah yang telah ada dalilnya dan karena tidak adanya larangan dalam masalah tersebut. Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam dan Ibnul Qoyyim, Ibnu Qudamah dan inilah yang dipilih Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin Rahimahumulloh. [Lihat: Majmu’ul Fatawa Ibni Taimiyyah 24/366, Ar-Ruuh karya Ibnul Qoyyim 142, Majmu’ Fatawa wa Rosa-il Al-‘Utsaimin 2/316, 17/263]
Sebagian ulama yang lain menyatakan bahwa amalan yang sampai kepada mayyit hanyalah amalan-amalan yang ada dalilnya. Adapun yang tidak ada dalilnya maka tidak bisa kita samakan. Ini adalah pendapat yang masyhur di mazhab Asy-Syafi’i dan juga pendapat kebanyakan ulama Malikiyyah. Dan inilah yang dikuatkan Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baaz serta Syaikh kami Yahya Al-Hajury dan Muhammad bin ‘Ali bin Hizam. [Majmu’ul Fatawa Ibni Taimiyyah 24/323, Majmu’ Fatawa Ibni Baaz 4/340]
Pendapat kedua inilah pendapat yang kuat -wallohu a’lam- hal itu dikarenakan tidak bolehnya melakukan ibadah kecuali apa yang ditentukan syari’at.
Kalau dikatakan: Jawaban yang diberikan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam hanya sebatas perkara-perkara tersebut karena memang pertanyaan sebatas hal tersebut. Yakni beliau membolehkan haji karena yang ditanya adalah masalah haji, beliau membolehkan sedekah karena yang ditanya adalah sedekah.
Maka jawabnya: Hal ini cuma terjadi pada sebagian contoh. Pada hadits ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-‘Ash yang telah disebutkan diatas, yang ditanyakan kepada beliau hanya masalah pembebasan budak, namun beliau menjelaskan bolehnya haji dan sedekah tidak menyebutkan perkara lain semisal membaca Al-Qu’an ataupun sholat yang kemungkinan kesempatan menghadiahkan pahala lebih banyak, wallohu a’lam.
Kemudian dari itu, beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak menyebutkan ‘illah (sebah hukum) kenapa amalan-amalan tersebut sampai pahalanya ke mayyit, beliau tidak mengatakan: “karena merupakan amalan kebaikan”, sehingga bisa diqiyaskan ke amalan-amalan yang lain.
‘Illah yang beliau sebutkan hanya satu bentuk yaitu penyerupaan dengan hutang, sebagaimana di hadits Ibnu ‘Abbas tentang pertanyaan wanita dari Buhainah. Dengannya maka setiap amalan yang masih dalam tanggungan mayyit bisa dilakukan oleh orang yang masih hidup setelahnya. Adapun amalan-amalah yang sudah tidak berada dalam tanggungan mayyit, maka dibutuhkan dalil yang membolehkan hal tersebut. Seperti bolehnya haji tathowwu’ atas nama mayyit berdasarkan keumuman hadits ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-‘Ash di atas, wallohu a’lam.
Syaikh Ibnu Baaz Rahimahullohu Ta’ala mengatakan: “Bacaan Al-Qur’an untuk orang-orang yang telah meninggal tidak ada kaidah pokok yang bisa dijadikan sandaran, tidak ada juga pensyari’atan (dalil). Yang disyari’atkan hanyalah pembacaan Al-Qur’an di kalangan orang yang masih hidup agar mereka mengambil faidah, mentadabburi dan memahami kitabulloh. Adapun pembacaan Al-Qur’an untuk mayyit di sisi kuburannya, setelah meninggal sebelum dikubur ataupun pembacaan tersebut dilakukan di tempat manapun sehingga bisa dihadiahkan untuknya maka kami tidak mengetahui adanya asal masalah ini (dalam syari’at).
Para ulama telah menulis dalam masalah tersebut, mereka menulis kitab-kitab yang banyak, diantara mereka ada yang membolehkan pembacaan Al-Qur’an (untuk mayyit) dan senang membacakan bagian-bagian akhir Al-Qur’an untuk mayyit, mereka menjadikan hal tersebut ke jenis sedekah dengan harta. Sebagian ulama ada yang mengatakan: “Semua ini adalah perkara-perkara tauqifiyyah (harus dibangun di atas dalil), maksudnya bahwa perkara-perkara tersebut (yang pahalanya dihadiahkan untuk mayyit) termasuk ibadah-ibadah, maka tidak boleh dilakukan kecuali apa-apa yang ditetapkan syari’at. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

“Barangsiapa yang melakukan amalan yang perintah kami tidak ada atasnya maka amalan tersebut tertolak”. (HR Muslim)
Tidak ada dalil dalam masalah ini -yang kami ketahui- yang menunjukkan disyari’atkannya membaca Al-Qur’an untuk orang meninggal.
Maka yang semestinya adalah berada dalam hukum asal yaitu bahwasanya ibadah adalah tauqifiyyah … -sampai perkataan beliau-
Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah menjelaskan bahwa sedekah atas nama mayyit bermanfaat baginya, demikian juga haji dan ‘umroh –telah datang hadits-hadits dalam masalah tersebut-, begitu juga melunasi hutang bermanfaat baginya (mayyit). Adapun membaca Al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahala untuknya, sholat untuknya, atau puasa tathowwu’ (sunat) untuknya, maka semuanya tidak sampai kepadanya dan yang benar hal terebut tidak disyari’atkan”. [Majmu’ Fatawa Ibni Baaz 4/340]

ULAMA YANG BERPENDAPAT SAHNYA PENGHADIAHAN PAHALA DENGAN SEGENAP AMALAN KEBAIKAN MENYATAKAN BAHWA TIDAK SEMESTINYA DALAM PENERAPANNYA MENYELISIHI APA YANG DATANG DARI SALAF

Dari penjelasan terdahulu terlihat bahwa pendapat yang kuat adalah tidak disyari’atkannya penghadiahan pahala kepada mayyit selain yang disebutkan dalil. Dalam kesempatan ini juga ingin dijelaskan, bahwa diantara ulama yang berpendapat bahwa penghadiahan pahala juga boleh dengan amalan kebaikan yang lain secara keseluruhan, mereka mengatakan dalam penerapannya tidak semestinya menyelisihi apa yang sah datangnya dari salafush sholih.
Syaikhul Islam Rahimahullohu Ta’ala mengatakan: “Perkara yang dikenal di kalangan muslimin pada kurun yang dimuliakan (zaman salaf), bahwasanya mereka mengibadahi Alloh dengan berbagai jenis ibadah yang disyari’atkan baik yang wajib maupun yang sunat berupa sholat, puasa, membaca Al-Qur’an, dzikr dan selainnya. Dahulu mereka juga mendo’akan kaum mukminin dan mukminat – baik bagi yang hidup ataupun yang telah meninggal -sebagaimana yang Alloh perintahkan, ketika sholat jenazah, ziaroh kubur dan selainnya …
-sampai perkataan beliau- sedekah atas nama mayyit termasuk amalan-amalan sholeh demikian juga yang datang di As-Sunnah dalam masalah puasa atas nama mereka. Dengan masalah ini dan selainnya adalah dalil yang dipakai para ulama yang berpendapat bolehnya menghadiahkan pahala ibadah maaliyyah dan badaniyyah kepada mayyit kaum muslimin, sebagaimana hal itu merupakan mazhab Ahmad, Abu Hanifah dan sekalangan dari pengikut Mazhab Malik dan Syafi’i, apabila dihadiahkan kepada mayyit pahala puasa dan sholat ataupun bacaan Al-Qur’an maka itu boleh. Sementara mayoritas pengikut mazhab Malikiyyah dan Syafi’iyyah mengatakan: Hal itu (penghadiahan pahala) hanya disyari’atkan pada ibadah maaliyyah.
Bersamaan dengan ini (yaitu bolehnya penghadiahan pahala dengan segenap amalan kebaikan menurut pendapat yang beliau kuatkan -pent) bukanlah menjadi adat para salaf jika mereka sholat tathowwu’, puasa atau haji tathowwu’ atau mereka membaca Al-Qur’an kemudian menghadiahkan pahalanya kepada mayyit-mayyit mereka yang muslim, tidak juga bagi orang-orang khusus mereka, bahkan adat mereka adalah sebagai mana terdahulu penjelasannya (yakni beramal untuk diri sendiri dan mendo’akan serta memintakan pengampunan bagi orang-orang yang meninggal kepada Alloh -pent) maka tidak semestinya bagi manusia berpaling dari jalan para salaf karena mereka lebih utama dan sempurna, wallohu a’lam”. [Majmu’ Fatawa 24/322-323]
Peringatan ini juga disebutkan Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh [Majmu’ Fatawa wa Rosaa-il Al-‘Utsaimin 17/265]

والله الموفّق وهو الهادي إلى سواء السبيل والحمد لله ربّ العالمين

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

Artikel Terkait

0 komentar

Posting Komentar

Cancel Reply

Terjemahkan Halaman

Follower

.