Minggu, 17 Maret 2013

HADIAH UNTUK MAYYIT (Bag 1. Ibadah Maaliyyah)



BISAKAH MENGHADIAHKAN PAHALA BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL (MAYYIT) ?

(bagian satu: Ibadah-Ibadah Maaliyyah)
ditulis oleh: Abu Ja’far Al-Harits Al-Minangkabawy Al-Andalasy
-semoga Alloh mengampuni dosa dan kesalahannya-
13 Robii’uts Tsany 1434
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما كثيرا أما بعد:

Kali ini kita akan menyinggung hadits dari ‘Aisyah Rodhiyallohu ‘Anha. yang terkait dengan masalah menghadiahkan pahala bagi orang yang telah meninggal. ‘Aisyah Rodhiallohu ‘Anha mengatakan: “Sesungguhnya seorang lelaki mendatangi Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam kemudian berkata: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibuku telah meninggal tiba-tiba dan tidak mewasiatkan apa-apa. Aku menduga kalau dia mampu berbicara maka dia akan bersedekah. Apakah dia mendapat pahala jika aku bersedekah atas namanya?”. Beliau menjawab: “Ya”. (HR Muslim)
Masih banyak hadits semisal dalam masalah ini, insyalloh beberapa diantaranya kita lewati seiring dengan pembahasan, wallohul musta’aan
SILANG PENDAPAT ULAMA SEPUTAR PENGHADIAHAN PAHALA BAGI ORANG YANG TELAH MENINGGAL (MAYYIT)
Sebelum masuk ke perincian, kita simak dulu penggambaran masalah secara umum yang disebutkan oleh Imam An-Nawawy Rahimahulloh, beliau berkata dalam menjelaskan hadits ‘Aisyah di atas: “Pada hadits ini terdapat dalil bahwasanya sedekah atass nama orang yang telah meninggal, bermanfaat baginya dan pahalanya sampai kepada orang yang meninggal tersebut, hukum ini juga sebagaimana Ijma’ (kesepakatan) para ulama. Mereka juga ijma’ akan sampainya do’a dan hutang yang dibayarkan (yakni tanggung jawab si mayyit atas hutang-hutangnya terlepas jika dibayarkan -pent) berdasarkan dalil-dalil yang datang tentang seluruh perkara tersebut, demikian juga sahnya haji atas nama mayyit apabila haji tersebut adalah haji Islam (yakni haji wajib –pent). Juga jika (semasa hidup) si mayyit mewasiatkan untuk dihajikan dengan haji tathowwu’ (sunat) maka hajinya sah menurut pendapat yang paling kuat di sisi kami.
Para ulama berselisih dalam masalah puasa apabila orang tersebut meninggal dan dia punya hutang puasa, pendapat yang lebih kuat adalah bolehnya puasa tersebut dibayarkan (orang lain) berdasarkan hadits-hadits shohih dalam masalah ini.
Yang masyhur di madzhab kami (Syafi’i) bahwasanya pembacaan Al-Qur’an tidak sampai pahalanya kepada mayyit. Sebagian sahabat kami (para ulama madzhab Syafi’i) berpendapat pahalanya sampai, dan ini adalah pendapat Ahmad bin Hanbal.
Adapun sholat dan seluruh ketaatan (yakni amalan badan yang lain -pent) tidak sampai pahalanya, di sisi kami, tidak pula di sisi jumhur (mayoritas) ulama. Sementara Ahmad berpendapat pahalanya sampai sebagaimana haji”. [Syarh Shohih Muslim 7/90]
HUKUM SEDEKAH ATAS NAMA MAYYIT DAN BERBAGAI AMALAN MAALIYYAH (YANG TERKAIT DENGAN HARTA)
Apabila yang membayarkan adalah anaknya, baik pada sedekah ataupun amalan-amalan maaliyyah yang lain seperti pembayaran hutang, pembebasan budak, maka semua ulama baik yang terdahulu maupun yang belakangan sepakat akan keabsahannya, dan sampainya pahala bagi si mayyit jika dialokasikan kepada kebajikan.
Adapun jika dibayarkan oleh orang lain maka ada segelintir ulama belakangan yang mengatakan tidak sahnya yaitu Imam Asy-Syaukany (wafat 1250) dan Imam Al-Albany (wafat 1420) Rahimahumalloh. [Lihat: Nailul Author 4/142, Ahkamul Janaiz 219]
Dalil yang mereka berdua bawakan adalah firman Alloh Ta’ala:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya”, (QS An-Najm 39)
Sisi pendalilannya: Pada ayat ini terdapat pembatasan bahwa yang bisa bermanfaat bagi seseorang setelah meninggalnya, hanyalah hasil amalannya semasa hidup. Anak adalah hasil usahanya, sementara orang lain tidak. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
أطيب ما أكلتم من كسبكم وإن أولادكم من كسبكم
“Sebaik-baik apa yang kalian makan adalah dari usaha kalian. Sesungguhnya anak-anak kalian adalah termasuk usaha kalian”. (HR Ibnu Majah dari ‘Aisyah, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Karena itulah Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه
“Apabila seorang manusia meninggal maka amalannya akan terputus kecuali dari tiga perkara: sedekahnya yang terus berjalan (yang masih dimanfaatkan setelah meninggalnya), ilmu yang dimanfaatkan dan anak sholih yang mendo’akannya”. (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Ketiga perkara yang disebutkan adalah perkara yang merupakan hasil usaha si mayyit ketika hidupnya.
Jawaban atas pendalilan di atas:
Jawaban Pertama: Pemahaman Tentang Kandungan Ayat 39 Di Surat An-Najm Serta Hadits Dari Abu Hurairoh Di Atas
Syaikh Muhammad Al-‘Utsaimin Rahimahulloh mengatakan: “Yang dimaksud dengannya –wallohu a’lam- bahwasanya seseorang tidak memiliki hak sedikitpun dari usaha orang lain sebagaimana dia tidak akan memikul dosa orang lain sedikitpun. Bukan maksudnya pahala usaha orang lain tidak bisa sampai kepadanya, karena banyaknya dalil-dalil yang datang tentang sampainya pahala seseorang kepada orang lain dan bermanfaatnya hal tersebut bagi orang tersebut selama dia (yang melakukan amalan) memaksudkan untuk itu. Diantara perkara-perkara tersebut:
1. Do’a. Orang yang dido’akan mendapatkan manfaat dengan do’a tersebut berdasarkan dalil Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ muslimin. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berkata kepada Nabi-Nya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
وَاسْتَغْفِرْ لِذَنبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ
“Mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan. dan Alloh mengetahui tempat kalian berusaha dan tempat tinggal kalian”. (QS Muhammad 19)
Alloh Ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ جَآءُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالإَيمَانِ وَلاَ تَجْعَلْ فِى قُلُوبِنَا غِلاًّ لِّلَّذِينَءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٌ رَّحِيمٌ
“Orang-orang yang datang sesudah mereka (orang-orang yang lebih dahulu beriman), mereka berdoa: “Yaa Robb Kami, beri ampunlah kepada kami dan kepada saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, serta janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Yaa Robb kami, Sesungguhnya Engkau Ro-uuf (Dzat Yang Maha Penyantun) lagi Rohiim (Dzat Yang Menyampaikan Rahmat-Nya kepada hamba-Nya)”. (QS Al-Hasyr 10)
Orang-orang yang mendahului mereka dengan keimanan adalah kaum Muhajirin dan Anshor, sementara orang-orang yang datang setelah mereka adalah para tabi’in dan orang-orang setelah mereka sampai hari kiamat.
Juga sah dari Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam memejamkan mata Abu Salamah setelah meninggalnya, kemudian berkata:
اللهم اغفر لأبي سلمة، وارفع درجته في المهديين، واخلفه في عقبه، وافسح له في قبره، ونور له فيه
“Yaa Alloh ampunilah Abu Salamah, akatlah derajatnya ke Mahdiyyin, berikanlah gantinya pada keluarganya, lapangkanlah dan terangkanlah baginya di kuburnya”.
Dahulu Rosululloh menyolatkan jenazah kaum muslimin dan berdo’a untuk mereka, beliau menziarohi kuburan dan mendo’akan penghuninya, umatnya pun mengikuti beliau dalam perkara tersebut sampai-sampai perkara ini menjadi perkara dalam agama Islam yang diketahui oleh segenap kaum muslimin.
Demikian juga telah sah dari beliau bahwa beliau bersabda:
ما من رجل مسلم يموت، فيقوم على جنازته أربعون رجلاً لا يشركون بالله شيئاً، إلا شفَّعهم الله فيه
“Tidaklah seorang muslim meninggal, kemudian sholat atas jenazahnya (yakni melakukan sholat jenazah) empat puluh orang lelaki yang tidak berbuat syirik (mempersekutukan) dengan Alloh sedikitpun, kecuali Alloh akan menjadikan mereka sebagai syafa’at bagi mayyit itu”.
Perkara ini, tidak bertentangan dengan sabda Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam:
إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلاَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ إِلاَّ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَه
“Apabila seorang manusia meninggal maka amalannya akan terputus kecuali dari tiga perkara: sedekahnya yang terus berjalan (yang masih dimanfaatkan setelah meninggalnya), ilmu yang dimanfaatkan dan anak sholih yang mendo’akannya”. (HR Muslim dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu)
Karena yang dimaksud dalam hadits ini adalah (pengecualian) pada amalan insane itu sendiri, bukan terputusnya amalan orang lain untuknya. Hanya saja do’a anak yang sholih merupakan amalannya (orang tua) karena sesungguhnya anak itu adalah usahanya, dari sisi dialah yang menjadi sebab keberadaan anak itu. Maka seolah-olah do’a anak bagi orang-tuanya seperti do’a orang tua untuk dirinya sendiri. Lain halnya jika si anak mendo’akan saudaranya maka itu buka termasuk ke dalam amalan saudaranya tersebut walaupun dia mendapatkan manfaat darinya.
Maka pengecualian yang ada di hadits, berupa terputusnya amalan mayyit itu sendiri, bukan terputusnya amalan orang lain untuknya, karena itu tidak dikatakan dalam hadits: “terputusnya amalan untuknya”, akan tetapi dikatakan: “terputusnya amalannya”, kedua ungkapan ini memiliki perbedaan yang nyata. [Lihat: Majmu’ Fataawa wa rosa-il Al-‘Utsaimin 17/256-266]. Penjelasan semisal sebelumnya juga disebutkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qoyyim dan Ibnu Hazm Rahimahumulloh. [Lihat Majmu’ul Fataawa 24/311, Al-Muhalla 7/4]
Kemudian Syaikh ‘Utsaimin Rahimahulloh menyebutkan perkara-perkara lain -beserta dalil-dalilnya- yang menunjukkan bahwa orang yang telah meninggal bisa saja mendapatkan manfaat amalan orang lain. Beliau menyebutkan: sedekah, puasa, haji –insyaalloh akan datang penjelasan pada tempatnya-, sembelihan (termasuk ibadah maaliyah namun insyaAlloh adalah datang penyebutannya secara khusus), diambilnya amalan zholim oleh orang yang dizholimi pada hari kiamat, serta diangkatnya derajat anak ke kedudukan bapaknya di surga, sebagaimana dalam firman-Nya:
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَنَعِيمٍ * فَاكِهِينَ بِمَا آتَاهُمْ رَبُّهُمْ وَوَقَاهُمْ رَبُّهُمْ عَذَابَ الْجَحِيمِ * كُلُوا وَاشْرَبُوا هَنِيئًا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ * مُتَّكِئِينَ عَلَى سُرُرٍ مَصْفُوفَةٍ وَزَوَّجْنَاهُمْ بِحُورٍ عِينٍ * وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْ عَمَلِهِمْ مِنْ شَيْءٍ كُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِين
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada dalam surga dan kenikmatan, mereka bersuka ria dengan apa yang diberikan kepada mereka oleh Robb mereka, dan Robb mereka memelihara mereka dari azab neraka. (Dikatakan kepada mereka): “Makan dan minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa yang telah kalian kerjakan”. Mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli. Orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami sertakan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya”. (QS At-Thuur 17-21)
Jawaban Kedua: Adanya Ijma’ Ulama Sebelum Mereka Berdua (Asy-Syaukany dan Al-Albany) Akan Sahnya Ibadah Maaliyyah Atas Nama Mayyit
Ijma’ ulama dalam masalah ini secara umum tanpa merinci perbedaan antara anak atau bukan anak, apakah amalan tersebut diwasiatkan oleh mayyit atau tidak. Sebagaimana dimaklumi bahwa apabila telah terjadi ijma’ pada suatu masa, maka tidak boleh bagi orang setelahnya untuk menyelisihi ijma’ tersebut. Karena para ulama umat ini tidak akan sepakat di atas sesuatu yang keliru.
Syaikhul Islam Rahimahulloh mengatakan: “Apabila telah terjadi ijma’ umat ini pada suatu hukum, maka tidak bisa seorangpun keluar dari ijma’ mereka”. [Majmu’ul Fatawa 20/ 10]
Selain Imam An-Nawawy (wafat 676) masih ada ulama-ulama lain seperti Ibnu Taimiyyah (wafat 728) dan muridnya: Ibnu Katsir (wafat 774) Rahimahumullohu Ta’ala.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan: “Tidak ada perselisihan antara ulama ahlussunnah wal jama’ah tentang sampainya pahala ibadah maaliyyah seperti sedekah dan memerdekakan budak”. [Majmu’ul Fatawa 24/366]
Bahkan sebelum mereka, ijma’ ini telah dinukilkan sebagian ulama dan salaf yang menunjukkan bahwa ijma’ ini terjadi sangat jauh sebelum zaman mereka berdua (Asy-Syaukany dan Al-Albany) yaitu: Imam Ibnu ‘Abdil Barr (wafat 463), beliau mengatakan: “Para ulama seluruhnya sepakat bahwasanya sedekah orang yang hidup atas nama orang yang telah meninggal hukumnya boleh lagi mustahab”. [Al-Istidzkaar 7/257]
Sebelumnya, Ijma’ tersebut disebutkan Imam Ibnul Mubaarok (wafat 181) sebagaimana disebutkan Imam Muslim di Muqoddimah Shohihnya. Beliau berkata: “Muhammad (yaitu Muhammad bin ‘Abdillah bin Qohzaadz, salah seorang guru Imam Muslim) mengatakan: “Aku mendengar Abu Ishaq Ibrohim bin ‘Isa Ath-Tholaqoony berkata: “Aku berkata ke ‘Abdulloh ibnul Mubaarok: “Wahai Aba ‘Abdirrohman, (bagaimana dengan) hadits:
إن من البر بعد البر أن تصلي لأبويك مع صلاتك، وتصوم لهما مع صومك
“Sesungguhnya termasuk kebaikan setelah kebaikan engkau sholat untuk kedua orang tuamu bersamaan dengan sholatmu, dan engkau berpuasa bagi mereka bersamaan dengan puasamu”.
‘Abdulloh (Ibnul Mubaarok) berkata: “Wahai Aba Ishaq, dari siapa hadits ini?”. Aku berkata kepadanya: “Ini dari Hadits Syihaab bin Khiroos”. Dia (Ibnul Mubaarok) berkata: “(Dia) Tsiqoh. Dari siapa dia meriwayatkannya?”. Aku berkata: “Dari Al-Hajjaj bin Diinaar”. Dia (Ibnul Mubaarok) berkata: “(Dia) Tsiqoh. Dari siapa dia meriwayatkannya?”. Aku berkata: “Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam”. Dia (Ibnul Mubaarok) berkata: “Wahai Abu Ishaq sungguh antara Al-Hajjaj bin Diinaar dan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam terdapat daerah-daerah terpencil, jauh dari sumber air yang bisa mematahkan leher hewan tunggangan (yakni Al-Hajjaj adalah tabi’ut tabi’in, dua generasi setelah Rosululloh, mesti terdapat beberapa perantara sehingga dia bisa meriwayatkan perkataan Rosululloh –pent). Akan tetapi, tidak ada khilaf (perselisihan) dalam masalah sedekah”. (Muqoddimah Shohih Muslim 1/16, sanad dari Imam Muslim sampai ke Ibnul Mubaarok: hasan)
Tidak ada cara menolak ijma’ ini kecuali dengan membuktikan adanya salah seorang ulama yang menyelisihi hukum tersebut sebelum adanya penukilan ijma’.
Adapun diantara dalil-dalil dari hadits Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam (selain hadits ‘Aisyah di atas) yang terkait masalah ini:
Hadits Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu: “Sesungguhnya Sa’ad bin ‘Ubadah Rodhiyallohu ‘Anhu ibunya meninggal, sementara ketika itu dia tidak bersamanya. Maka dia berkata: “Wahai Rosululloh, sesungguhnya ibuku telah meninggal aku tidak berada di sisinya. Apakah merupakan sesuatu yang bermanfaat baginya jika aku bersedekah atas namanya?”. Beliau berkata: “Ya”. (HR Bukhory)
Hadits Abu Hurairoh Rodhiyallohu ‘Anhu: “Sesungguhnya ayahku meninggal dalam keadaan meninggalkan harta, namun tidak mewasiatkan apa-apa. Apakah akan menghapuskan dosanya jika aku bersedekah atas namanya?”. Beliau menjawab: “Ya”. (HR Muslim)
Hadits ‘Abdulloh bin ‘Amr bin Al-‘Ash Rodhiyallohu ‘Anhu: “Sesungguhnya Al-‘Ash bin Wail (kakek ‘Abdulloh bin ‘Amr mati dalam keadaan kafir) mewasiatkan untuk memerdekaan atas namanya seratus orang budak. Maka anaknya: Hisyam, memerdekaan lima puluh budak. Anaknya yang lain: ‘Amr, ingin memerdekakan lima puluh sisanya, dia berkata: “Sampai aku menanyakannya kepada Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam”. Maka dia pun mendatangi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam dan berkata: “Wahai Rosululloh sesungguhnya bapakku mewasiatkan untu memerdekakan seratus orang budak, sementara Hisyam telah memerdekakan lima puluh tersisa atasnya (wasiat tersebut) lima puluh budak (lagi). Apakah aku merdekakan atas namanya?”. Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam berkata: “Sungguh, seandainya dia muslim, kemudian engkau memerdekakan budak, bersedekah, atau haji atas namanya maka (pahala) hal tersebut akan sampai kepadanya”. (HR Abu Daud dihasankan Syaikh Al-Albany)
Kisah dalam hadits-hadits ini yang muncul pada anak orang yang meninggal tidak bisa langsung dipahami adanya pembatasan, karena yang menjadi acuan adalah keumuman sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Karena itu di hadits yang lain, Ibnu ‘Abbas Rodhiyallohu ‘Anhu mengatakan: “Seorang perempuan mendatangi Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata: “Sesungguhnya saudariku telah meninggal dan dia masih memiliki tanggung jawab untuk berpuasa dua bulan berturut-turut”. Beliau berkata: Bagaimana menurutmu, jika saudarimu masih memiliki kewajiban membayar hutang apakah engkau membayarkannya?”. Wanita itu berkata: “Iya”. Rosululloh berkata: “Maka hak Alloh lebih berhak (ditunaikan)”. (HR Bukhory)
Dalam hadits tersebut terdapat penetapan Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bahwa amalan wanita tersebut bermanfaat bagi saudarinya yang telah meninggal dalam mengangkat tanggung jawabnya yang masih tersisa atas puasa kaffaroh dan utang. Tidak bisa dikatakan ini khusus bagi saudari untuk saudari, cuma saja kebetulan kisahnya seperti itu.
SEMBELIHAN ATAS NAMA MAYYIT
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwasanya sembelihan atas nama mayyit termasuk ke dalam amalan maaliyyah yang telah sepakat akan kebolehannya, juga secara tidak langsung jenis ini juga termasuk ke dalam sedekah, karena sedekah bisa dengan harta, dengan daging sembelihan ataupun dengan membebaskan budak.
Bahkan sembelihan adalah bentuk amalan maaliyyah yang paling mulia. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ * فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu Al-Kautsar. Oleh sebab itu dirikanlah shalat dan berkorbanlah karena Robbmu”. (QS Al-Kautsar 1-2)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahulloh mengatakan: “Maksudnya bahwa sholat dan penyembelihan karena Alloh adalah dua perkara yang paling mulia dalam mendekatkan diri kepada Alloh karena Alloh menyebutkannya setelah kalimat (فَ) (oleh sebab itu) yang menunjukkan kepada sebab. Karena perbuatan sholat dan penyembelihan adalah sebab penegakan sikap syukur atas apa yang diberikan Alloh kepada beliau berupa Al-Kautsar dan kebaikan yang banyak. Maka bentuk rasa syukur dan peribatan orang yang diberi nikmat, yang paling agungnya adalah kedua ibadah ini.
-sampai perkataan beliau- ibadah maaliyyah yang paling mulia adalah sembelihan dan ibadah badaniyyah yang paling mulia adalah sholat …
Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam telah menerapkan perintah Robbnya, dahulu beliau banyak sholat dan banyak menyembelih karena Robbnya, sampai-sampai beliau langsung menyembelih dengan tangannya di Haji Wada’ enam puluh tiga ekor unta, beliau menyembelih di hari-hari ‘ied dan hari-hari selainnya”. [Majmu’ul Fatawa 16/532]
BEBERAPA BENTUK KESALAHAN DALAM PRAKTEK AMALAN MAALIYYAH ATAS NAMA MAYYIT
1. Membuat perjamuan dengan menyediakan hewan sembelihan
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh ditanya: “Kita katakan bahwa sedekah atas nama mayyit boleh. Sebagian orang apabila ada yang meninggal, maka mereka melakukan ta’ziyyah pada waktu dan tempat tertentu. Setelah sebulan atau sepekan, mereka menyembelih hewan-hewan sembelihan dan menyedekahkannya. Mereka berdalil dengan hadits yang anda sebutkan.
Jawab: Ini adalah kesalahan. Sedekah atas nama mayyit adalah (dengan cara) seseorang mengambil dirham kemudian memberikannya kepada orang fakir, bukan dengan memasakkan makanan. Memasakkan makanan dan mengumpulkan orang (dalam kaitan kematian), termasuk bentuk niyaahah dan niyaahah haram. Karena itu anda mendapatkan bahwa orang yang memasakkan makanan –menyangka bahwa mereka tengah bersedekah- yang hadir pada acara mereka orang kaya dan miskin, orang fasiq maupun orang sholih, berandalan maupun orang-orang yang menjaga diri dari perkara keji, mereka (yang membuat acara) tidak peduli (siapapun yang datang). Maka ini adalah sebuah bid’ah sekaligus termasuk niyaahah (meratapi mayyit) sebagaimana disebutkan Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly (Rodhiyallohu ‘Anhu): “Dahulu (di zaman Rosululloh) kami menganggap berkumpul kepada keluarga yang meninggal serta membuat makanan termasuk niyaahah. [Kaset Liqoo-u Baabil Maftuuh no 179 side B]
Banyak hadits yang menunjukkan haramnya niyaahah, para ulama telah ijma’ akan tidak bolehnya hal tersebut bagi lelaki dan wanita. [Al-Istidzkaar karya Imam Ibnu ‘Abdil Barr 3/68]
2. Menyembelih atau bersedekah pada waktu tertentu yang terkait dengan kematian
Sedekah atas nama mayyit disyari’atkan, demikian juga memberi makan para fakir miskin dan memberi kelapangan bagi mereka, membantu tetangga dan memuliakan muslimin merupakan bentuk kebajikan dan kebaikan yang dicintai syari’at ini. Akan tetapi menyembelih kambing, sapi, unta, burung ataupun yang selainnya atas nama mayyit ketika kematian atau pada hari tertentu seperti hari ketujuh atau keempat puluh setelah kematian, adalah perkara bid’ah.
Demikian juga dengan membuat roti pada hari tertentu hari ketujuh, keempat puluh, atau hari kamis, juma’at ataupun malamnya, dengan tujuan bersedekah atas nama mayyit pada waktu-waktu tersebut, merupakan perkara bid’ah dan yang diada-adakan dalam agama ini yang tidak ada di zaman salafush sholih kita Rodhiyallohu ‘Anhum.
Maka wajib untuk meninggalkan bid’ah ini berdasarkan sabda Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
“Barangsiapa yang mengada-adakan (suatu amalan atau keyakinan) dalam perkara kami ini, yang bukan bagian darinya maka perkara itu tertolak”. (HR Bukhory-Muslim)
Dan sabdanya Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
إياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة
“Waspadailah sesuatu yang diada-adakan pada perkara-perkara. Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, sementara setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR Abu Daud)
Namun disyari’atkan bagi ahli waris untuk menyedekahkan atas nama orang yang meninggal dari keluarga mereka tanpa mengagendakan waktu tertentu dan tanpa meyakini bahwa sedekah pada hari-hari tersebut lebih utama, kecuali hari-hari yang dijelaskan syari’at (yakni tentang keutamaannya) seperti Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan dzulhijjah, karena keutamaan waktu tersebut dan berlipatnya pahala padanya.
Wabillahit taufiiq. Shollallohu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa Aalihi wa Shohbihi wa Sallam.
Lajnatud Daa-imah Lul Buhuts wal Ifta’. Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bib Baaz, wakil: ‘Abdur Rozzaq ‘Afifiy, anggota: ‘Abdulloh bin Ghudaiyyan [Fataawal Lajnatid Daa-imah gelombang I (9/26-27)]
3. Bagi-bagi sedekah atau makanan di sisi kubur
Sedekah atas nama mayyit disyari’atkan, akan tetapi – bersamaan banyaknya Nabi mengiringi jenazah, ziarah kubur dan banyaknya shohabat beliau Rodhiyallohu ‘Anhum- Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah membagi-bagi sedekah di kuburan setelah penguburan mayyit, sebelumnya atau kapanpun. Pembagian sedekah di pekuburan adalah bid’ah menyelisihi petunjuk Nabi Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam. Wabillahit taufiiq. Shollallohu ‘Ala Nabiyyina Muhammadin wa Aalihi wa Shohbihi wa Sallam.
Lajnatud Daa-imah Lul Buhuts wal Ifta’. Ketua: ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bib Baaz, anggota: ‘Abdulloh bin Qu’ud [Fataawal Lajnatid Daa-imah gelombang I (9/22)]
Fatwa yang sama tentang membagi-bagi roti, daging ataupun korma di kuburan. [Fataawal Lajnatid Daa-imah gelombang I (9/108)]
4. Menyembelih di sisi kubur
Tidak ada perselisihan di kalangan ulama bahwa perbuatan ini merupakan perkara tercela, bahkan para ulama Hanabilah, Syafi’iyyah, Maalikiyyah dan Hanafiyyah, terang-terangan menyebutkan bahwa perkara ini haram dan termasuk bid’ah. [Lihat: Al-Furu’ 2/269, Kasysyaaful Qona’ 2/149, Al-Majmu’ 5/290, Al-Madkhol 3/267, Tabyiinul Haqoo-iq 2/246]
Diantara dalil dalam masalah ini, hadits Anas Rodhiyallohu ‘Anhu bahwasanya Rosululloh Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam:
لَا عَقْرَ فِي الْإِسْلَامِ
“Tidak ada penyembelihan dalam Islam”.
‘Abdur Rozzaq (salah seorang periwayat hadits ini, wafat 211) mengatakan: “Dahulu mereka (di zaman Jahiliyyah) menyembelih sapi atau kambing di sisi kuburan”. (HR Abu Daud, dishohihkan Syaikh Al-Albany)
Imam Al-Khoththoby Rahimahulloh mengatakan: “Dahulu orang-orang Jahiliyyah menyembelih onta di kuburan lelaki yang dermawan, mereka mengatakan: “Kita membalasnya atas perbuatannya, karena dahulu dia menyembelih unta semasa hidupnya untuk memberi makan para tamu, maka kita menyembelih unta di sisi kuburannya untuk dimakan oleh binatang buas dan burung, sehingga dia tetap memberi makan setelah meninggalnya sebagaimana dia dahulu memberi makan ketika hidupnya”.
… sebagian mereka (orang-orang jahiliyyah) ada yang melakukan hal itu (penyembelihan di sisi kubur) dengan alasan apabila dia menyembelih tunggangannya di sisi kuburannya maka dia (mayyit) akan dibangkitkan di hari kiamat dalam keadaan menunggangi tunggangannya, sementara barangsiapa yang tidak disembelihkan atas namanya maka dia akan dibangkitkan sebagai pejalan kaki. Keyakinan ini dulunya pada kelompok di kalangan mereka yang meyakini adanya kebangkitan setelah kematian”. [Ma’aalimus Sunan 1/315-316]
Hukum bid’ah yang disinggung disini jika sembelihan dilakukan karena Alloh. Adapun jika sembelihan dilakukan untuk mendekatkan diri kepada penghuni kuburan maka ini adalah syirik besar yang mengeluarkan seseorang dari Islam.
5. Mengumpulkan sumbangan untuk kemudian disedekahkan atas nama mayyit
Syaikh Al-‘Utsaimin Rahimahulloh -menjawab pertanyaan tentang praktek diatas- mengatakan: “Dari sisi metode yang disebutkan, dimana dikumpulkan sumbangan untuk mayyit kemudian dibelikan tanah yang menjadi sedekah atas namanya, maka saya tidak perpendapat akan bolehnya perkara ini. Karena (pertama) para shohabat Rodhiyallohu ‘Anhum meninggal, diantara mereka terdapat orang-orang mulia dan orangorang yang memiliki hak atas umat ini dari kalangan khalifah dan selain mereka. Tidak ada mereka (para shohabat yang hidup) mengumpulkan sedekah untuk mereka (para shohabat yang telah meninggal) dalam rangkan bersedekah atas nama mereka.
Kemudian (kedua) perkara ini bakal membuka pintu kejelekan pada manusia. Karena teman-teman mayyit jika menyumbang, lalu dikatakan kepada salah seorang dari mereka: “Sini … sumbangan”. Orang itu menjawab; “Tidak, saya tidak menyumbang, saya punya keluarga yang lebih berhak untuk disumbangkan daripada saya bersedekah atas nama fulan”, maka teman-temannya akan mengumpatnya dan mengatakan; “Engkau orangnya begini … begini … begini …”.
Ketiga, hal ini bisa menyebabkan perdebatan. Dikatakan; “Masyaa Alloh, sekolah ini mengumpulkan seratus riyal dan memberi manfaat bagi teman mereka, kalian apa yang telah kalian kerjakan?”. Dikatakan: “Tidak … (justru) kami telah menyumbangkan lebih dari seratus riyal”.
Saya tidak berpendapat bolehnya hal ini, dan saya khawatir orang-orang ini akan membuat sebuah tren di tengah-tengah manusia yang mereka tidak butuh kepadanya”. [Liqoo-ul Baabil Maftuuh kaset 203]
Penyebutan perkara-perkara ini bukanlah dalam rangka pembatasan, masih banyak bentuk kekeliruan lain di berbagai tempat, yang pada dasarnya muncul karena sikap berlebih-lebihan dalam menerapkan perkara ini. Amalan agama harus didasari dalil, dimaklumi bahwa sedekah caranya sederhana, dan melakukan hal yang sederhana tapi di atas sunnah, jauh lebih bernilai dari pada bersusah payah di atas kebid’ahan.
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

Artikel Terkait

0 komentar

Posting Komentar

Cancel Reply

Terjemahkan Halaman

Follower

.